Universitas Jember

Universitas Jember
Universitas Jember

Cari Blog Ini

Jumat, 11 Oktober 2013

makalah penyakit kusta


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan.
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial.
Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembahasan mengenai studi kasus penyakit kusta ?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui pembahasan mengenai studi kasus penyakit kusta



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Kusta
Kusta pertama kali di ketahui dari abad ke 6 melalui tulisan orang Indian. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang tidak membahayakan nyawa tetapi merusak sistem kulit, saraf, pernafasan, mata dan testis. Perjalanan penyakit ditandai dengan hilangnya anggota gerak apabila penyakit tidak di terapi secara baik (http://dinkes.tasikmalayakota.go.id).
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Menurut Depkes RI (1996) diacu dalam Hutabarat (2008) penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf).

2.1.1 Etiologi Penyakit Kusta
Penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh bakteri pathogen Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1874 lalu. Mycobacterium leprae merupakan salah satu kuman yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol.
Penelitian dengan mikroskop electron tampak bahwa M. leprae mempunyai dinding yang terdiri atas 2 lapisan, yakni lapisan padat terdapat pada bagian dalam yang terdiri atas peptidoglikan dan lapisan transparan pada bagian luar yang terdiri atas lipopolisakarida dan kompleks protein-lipopolisakarida. Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20nm (9,10). Tampaknya peptidoglikan ini mempunyai sifat spesifik (11) pada M.leprae , yaitu adanya asam amino glisin,sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin. M. leprae ini merupakan basil gram positif karena sitoplasma basil ini mempunyai struktur yang sama dengan basil gram positif yang lain yaitu mengandung DNA dan RNA (http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/petrus-wicaksono-078114136.pdf).








Gambar : Mycobacterium Lepra

2.1.2 Penyebaran Penyakit Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke 4 yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.

2.1.3 Klasifikasi Penyakit Kusta
1)                Jenis klasifikasi yang umum
a.      Klasifikasi Internasional (1953)
1.    Indeterminate (I)
2.    Tuberkuloid (T)
3.    Borderline-Dimorphous (B)
4.    Lepromatosa (L)
b.     Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
1.    Tuberculoid Leprosy (TT) :
·      Resisten relatif tinggi,
·      Tidak ada basil pada bagian kulit yang terkena, dan
·      Skin patches sedikit dan kering.







2.    Lepromatous Leprosy (LL) :
·      Resisten sangat rendah,
·      Basil sangat banyak,
·      Dapat ditularkan pada orang lain,  dan
·      Mati rasa serta lemah pada kedua tangan dan kaki.












3.    Borderline Leprosy, dibagi menjadi :
·      Borderline Tuberculoid (BT)
·      Borderline (BB) dan
·      Borderline Lepromatous (BL).



















c.    Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
1.    Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2.    Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai berikut :
1.        Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.
2.        Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
                       
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB
MB
1.      Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)
2.      Kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
Ø 1-5 lesi
Ø Hipopigmentasi/eritema
Ø Distribusi tidak simetris



Ø Hilangnya sensasi yang jelas
Ø Hanya satu cabang saraf
Ø > 5 lesi
Ø Distribusi lebih simetris



Ø Hilangnya sensasi kurang jelas
Ø Banyak cabang saraf
Sumber   :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit  Kusta dalam Yanuar.
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum penyakit kusta.

Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB
Karakteristik
Tuberkuloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Tipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin

Makula dibatasi infiltrat
Satu atau beberapa

Terlokalisasi & asimetris
Kering, skuama

Hilang


Negatif
Positif kuat (3+)
Makula dibatasi infiltrat saja

Satu dengan lesi satelit
Asimetris

Kering, skuama

Hilang


Negatif atau 1 +
Positif (2 +)
Makula


Satu atau beberapa

Bervariasi

Dapat halus agak berkilat
Agak terganggu


Biasanya negatif
Meragukan (1 +)
Sumber      :  Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta dalam Yanuar

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB
Karakteristik
Lepromatosa (LL)
Borderline lepromatosa (BL)
Mid-borderline (BB)
Lesi
Tipe


Jumlah



Distribusi


Permukaan


Sensibilitas

BTA
Pada lesi kulit
Pada hembusan hidung
Tes lepromin

Makula, infiltrat difus, papul, nodus

Banyak, distribusi luas, praktis tidak ada kulit sehat

simetris
Kering, skuama

Halus dan berkilap


Todak terganggu


Banyak (globi)
Banyak (globi)

Negative

Makula, plak, papul


Banyak, tapi kulit sehat masih ada


Cenderung simetris


Halus dan berkilap


Sedikit berkurang


Banyak
Biasanya tidak ada

Negatif

Plak, lesi berbntuk kubah, lesi punched-out
Beberapa, kulit sehat (+)


asimetris


sedikit berkilap, beberapa lesi kering

berkurang


agak banyak
tidak ada

biasanya negatif, dapat juga (±)
Sumber:  Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta dalam Yanuar
2.1.3.1 Kriteria Penentuan Tipe
Dalam menentukan klasifikasi tife PB dan MB didasarkan pada criteria seperti tabel dibawah ini.
Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh kriteria.

Kriteria untuk tipe PB dan MB
Kelainan kulit dan
hasil pemeriksaan
Bakteriologis
PB
MB

1.    Bercak (Makula)
a. Jumlah
1 – 5
Banyak
b. Ukuran
Kecil dan besar
Kecil-kecil
c. Distribusi
Unilateral atau bilateral
asimetris.
Billateral, simetris
d. Konsitensi
Kering dan Kasar
Halus, berkilat.
e. Batas
Tegas
Kurang tegas.
f. Kehilangan rasa pada
bercak
Selalu ada dan jelas
Biasanya tidak jelas,
jika ada, terjadi pada yang
sudah lanjut.
g. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak
Bercak tidak berkeringat,
ada bulu ronrontok pada
bercak.

Bercak masih ber keringat
bulu tidak rontok
2. Infiltrat :
a. Kulit
Tidak ada
Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membrana mukosa (hidung tersumbat
pendarahan di hidung)
Tidak pernah ada.
ada, kadang-kadang
tidak ada
3. Ciri-ciri khusus

*Central Healing*
Penyembuhan di-
Tengah.

1.Punched out lession **).
2.Madarosis
3.Ginekomastia
4.Hidung Pelana
5.Suara Sengau
4. Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5. Penebalan
syaraf
6. Deformitas
(cacat)

Lebih sering terjadi
dini,asimetris
Biasanya asimetris
terjadi dini

Terjadi pada yang
lanjut biasanya lebih
dari satu dan simetris.
Terjadi pada Stadium
Lanjut
7. Apusan
BTA Negatif
BTA Positif.
**). Lesi berbentuk seperti kue donat.

2.1.3 Tanda dan Gejala Umum Penyakit Kusta
Umumnya gejala dan tanda dari penyakit ini kelainan kulit dimulai dari bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, namun semakin lama semakin membesar dan meluas.
 








Tipe BT dengan lesi satelit                                                   Tipe TT
   
Tipe BL                                                                                  Tipe LL
Jika saraf sudah kena, penderita mengeluh kesemutan pada bagian tertentu, ataupun susah menggerakkan anggota badan yang berlanjut dengan kekakuan sendi. Rata-rata periode inkubasinya adalah 2-3 tahun, namun dapat bervariasi dari 6 bulan sampai 40 tahun bahkan lebih.
Menurut sebagian besar pasien, tanda awal dari penyakit ini adalah merasa tebal pada kulit yang nantinya akan berkembang menjadi lesi atau kelainan kulit dalam beberapa tahun. Kulit menjadi kehilangan kepekaan terhadap temperatur (panas dan dingin) diikuti dengan hilangnya kepekaan sentuhan ringan, raba, nyeri dan tekanan. Kehilangan respons sensoris biasanya dimulai dari jari tangan dan kaki. Hal ini desebabkan karena kerusakan saraf pada tangan dan kaki. Lebih berat lagi, dapat terjadi kesulitan menggunakan jari-jari tangan untuk bekerja misalnya menulis atau mengangkat piring, kekakuan jari-jari bahkan dapat terjadi pemendekan jari-jari.

2.1.4 Penularan Kusta
M.leprae ini merupakan basil obligat intraseluler yang terutama dapat berkembang biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. Bakteri ini merupakan bakteri yang menyerang kulit dan syaraf tepi. M. leprae berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision yang membutuhkan waktu 11-13 hari. Pertumbuhan yang sangat lambat ini tidak diragukan sebagai faktor utama yang menyebabkan masa inkubasi yang sangat lama dari kusta dan menyebabkan semua manifestasi klinisnya menjadi kronis.
Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti. Namun, kemungkinan besar dekat dengan penderita sangat besar pengaruhnya pada penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Sebetulnya perjalanan penyakitnya itu sendiri cukup lama, karena itu disebut penyakit menahun. Semua orang bisa terkena penyakit ini, namun pada umumnya manusia kebal terhadap penyakit ini. Tetapi apabila sifat kekebalannya melemah maka seseorang akan mudah terkena penyakit ini. Jadi penyakit kusta sangat berkaitan dengan proses kekebalan. Oleh karena itu penyakit ini banyak diderita di negara-negara berkembang pada penduduk miskin yang kehidupannya berhimpitan dengan sosial ekonomi yang lemah (http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti. Beberapa faktor yang memengaruhi penularan kusta antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan :
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta :
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh :
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar :
95  orang tidak menjadi sakit.
3 orang sembuh sendiri tanpa obat.
2  orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan (http://id.pdfsb.com/readonline).

2.1.5   Diagnosis Penyakit Kusta
Mendiagnosis seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga ataupun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a.       Klinis
b.      Bakteriologis
c.       Immunologis
d.      Hispatologis
Namun untuk diagnosis kusta di lapangan cukup dengan ananese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas.
            Diagnosis penyakit kusta dapat dilakukan dengan penyuntikan antigen ke bagian bawah kulit untuk mengetahui tipe peyakit kusta yang sedang diderita oleh seseorang. Tes ini disebut Lepromin Skin Test. Penyuntikan antigen akan mengakibatkan terbentuknya gumpalan kecil pada kulit.
Gambar. Lepromin skin test

2.1.6 Pencegahan Penyakit Kusta
            1. Pencegahan Primordial
Tingkat pencegahan ini adalah tingkat pencegahan yang paling baru dikenal. Tujuan dari pencegahan primordial adalah untuk menghindari kemunculan dan kemapanan di bidang social, ekonomi, dan pola kehidupan yang diketahui mempunyai kontribusi untuk meningkatkan resiko penyakit. Pencegahan primordial yang efektif itu memerlukan adanya peraturan yang keras dari pemerintah dan ketentuan tentang fiscal agar dapat melaksanakan kebijaksanaan yang ada.
Pemerintah dengan berbagai macam program dan kebijakan. Program yang terkenal dalam menangani penyakit ini adalah “Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Kusta”. Perlu adanya kebijakan yang keras pada penerapan program ini di setiap daerah agar program ini dapat berjalan dengan efektif dan diharapkan mampu menanggulangi dan mengurangi penderita kusta di Indonesia.

2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama, tujuannya adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya, pencegahan ini terdiri dari :
a.       Promosi kesehatan
            Yaitu dengan cara penyuluhan-penyuluhan tentang penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit kusta, serta pentingnya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan status gizi tiap individu menjadi baik.
            Menurut Depkes RI (2005a) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat)
b.      Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005a dalam Hutabarat, 2008).

3. Pencegahan Sekunder
            Pencegahan ini meliputi diagnosis dini dan pemberian pengobatan (prompt treatment).
a.    Diagnosis dini yaitu diagnosis dini pada kusta dapat dilakukan dengan pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya .
b.      Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS (diaminodifenilsulfon), klofazimin, rifampisin, prednisone, sulfatferrosus dan vitamin A.  Pengobatan lain adalah dengan Multi drug treatment (MDT) yaitu gabungan pemberian obat refampicin, ofloxacin dan minocyclin sesuai dengan dosis dan tipe penyakit kusta.  Pengobatan kusta ini dilakukan secara teratur dan terus menerus selama 6-9 bulan.
Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.

4. PencegahanTersier
Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi kemajuan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi, dan adalah merupakan sebuah aspek terapatik dan kedokteran rehabilitasi yang paling penting .Pencegahan tersier merupakan usaha pencegahan terakhir yang terdiri dari :
a.      Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi.
Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terapi secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi kusta mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1.      Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,dan kontraktur.
2.   Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3.   Kontrol nyeri.
4.   Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Menurut Tjokronegoro, dkk. (2003), bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan fungsi yang tersisa.
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
a.       Pemeliharaan kulit harian
1.      Cuci tangan dan kaki setiap malam setelah bekerja dengan sedikit sabun (jangan deterjen)
2.      Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin.
3.      Kalau kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
4.      Kulit digosok dengan minyak.
5.      Secara teratur, kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka, dan lain-lain).
b.      Proteksi tangan dan kaki
1.      Tangan : - pakai sarung tangan waktu bekerja
-   Stop merokok
-   Jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung.
-   Lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut
2.      Kaki : - selalu pakai alas kaki
-   Batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
-   Meninggikan kaki bila berbaring
c.       Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah : - cegah kontraktur
- peningkatan fungsi gerak
- peningkatan kekuatan otot
- peningkatan daya tahan (endurance)
1.        Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5-10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk cegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
2.        Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri.
3.        Untuk tungkai, lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.
4.        Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.
d.      Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi.
e.       Dapat dibuat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi.
f.       Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat-alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
1.      Latihan redudaksi motorik
2.      Latihan redudaksi sensorik
3.      Latihan aktivitas menolong diri
4.      Latihan aktivitas rumah tangga
5.      Latihan aktivitas kerja
6.      Latihan daya tahan kerja
Sebagai kesatuan rehabilitasi medis, maka perlu dilakukan tinadakan bedah pada pasien kusta yang cacat. Khususnya bedah rekonstruksi, dilakukan dengan tujuan :
1.      Memperbaiki fungsi anggota badan seoptimal mungkin.
2.      Mencegah cacat berlanjut menjadi berat.
3.      Memperbaiki penampilan (kosmetik).
Agar pembedahan dapat berhasil dengan baik, maka harus memenuhi persyratan sebagai berikut :
1.    Basil tahan asam (M. leprae) atau pasien sudah bebas terapi (CTC = completion of treatment cure)
2.    Bebas reaksi lebih dari 6 bulan.
3.    Tidak pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir.
4.    Kelumpuhan otot sudah menetap.
5.    Ada otot donor yang normal.
6.    Tidak ada kontra indikasi pada operasi umum.
7.    Pasien kooperatif dan ada motivasi untuk dioperasi.

b.      Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak banyak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan  dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya.
Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai  kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri.
Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan.
Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya masih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat kusta telah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.
Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat kusta.

c.        Rehabilitasi Mental
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
a)    Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b)   Masalah psikososial kusta
c)    Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan    selesai.
d)   Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.
e)    Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
f)    Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
g)   Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara paripurna.
Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal tersebut, maka penderita cenderung menjadi bosan menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia akan berobat semaunya secara tidak teratur. Lebih celaka lagi bila selama masa pengobatan timbul komplikasi berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif.
Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin.

d.   Rehabilitasi Karya
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disamping itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.

e.    Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi penderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus menerus, melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat berupa :
a)    Memberikan bimbingan sosial.
b)   Memberikan peralatan kerja.
c)    Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
d)   Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
e)    Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka
f)    Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.
g)   Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
h)   Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
i)     Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.
j)     Memberikan bimbingan mental/spiritual.
k)   Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.
Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan tersier penyakit kusta meliputi sebagai berikut :
a.       Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
1.      Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
2.      Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b.     Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006) Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:
1.      Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
2.      Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
3.      Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
4.      Terapi okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan
5.      Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat
Tujuan pencegahan penyakit kusta adalah merupakan upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta. Berikut ini adalah mata rantai penularan penyakit kusta.
Sumber gambar :
http://tugas-pbw.comuf.com/penyakittropis/index.php/kusta/penularan-kusta

2.1.7   Pengobatan Penyakit Kusta
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 zaman yaitu :
1.    Zaman Purbakala.
Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 tahun SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut.

2.    Zaman Pertengahan.
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan system feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.

3.    Zaman Modern
Dengan ditemukanya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Demikian halnya di Indonesia Dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di Puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomondasi WHO.
Setelah menegakkan diagnosa dan ternyata seseorang menderita kusta segera diberikan pengobatan dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) secara gratis dan dicatat oleh petugas dalam kartu penderita. Memberikan penderita dosis pertama di puskesmas dan menganjurkan ambil obat secara teratur di puskesmas. Kemasan blister obat kombinasi atau Multi Drug Ttherapy (MDT) adalah gratis, disimpan ditempat yang kering, aman, teduh dan jauh dari jangkauan anak-anak. Selama menjalani pengobatan penderita dapat menjalani kehidupan normal, dapat tinggal dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai anak serta dalam acara-acara sosial (Depkes RI, 2000 dalam Hutabarat, 2008).
Obat yang diberikan pada penderita Tipe PB 1 Lesi 1 langsung di telan di depan petugas dan apabila obat tersebut tidak ada maka sementara diobati dengan dosis obat Pauci Baciler 2-5. Untuk tipe Pauci Baciler (PB) lesi 2-5, pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian hari ke 2- 28, 1 tablet Dapsone 100 mg 1 blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 6 blister.
Untuk tipe Multi Baciler (MB) pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama dosis diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg, 3 tablet Lampren 300 mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg, pengobatan harian yang ke 2-28 hari 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet dapsone 100 mg. Satu blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 12 blister.Untuk anak dibawah usia 10 tahun obat diberikan berdasarkan berat badan dengan dosis sebagai berikut : Rifampisin 10-15 mg/kg BB, Dapsone 1-2 mg/Kg BB dan Clofazimin 1 mg/Kg BB (Depkes RI, 2005a dalam Hutabarat, 2008).
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson (Diaminodiphenylsulfone) sejak tahun 1952 di Indonesia, hanya saja pengobatan mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan :
a.       Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra reaksi
b.      Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita makan obat tidak teratur
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan beberapa jenis obat, yaitu :
a.       Rifampicin, dapat membunuh bakteri kusta dengan menghambat perkembangbiakan bakteri (dosis 600mg)
b.      Vitamin A (untuk menyehatkan kulit yang bersisik).
c.       Clofamizine (CLF), menghambat pertumbuhan dan menekan efek bakteri perlahan pada Mycobacterium Leprae dengan berikatan pada DNA bakteri
d.      Ofloxacin, synthetic fluoroquinolone, yang bereaksi menyerupai penghambat bacterial DNA gyrase
e.       Minocycline, semisynthetic tetracycline, menghambat sintesis protein pada bakteri
Secara umum terdapat empat jenis obat antikusta, yaitu :
1.         Sulfon
2.         Rifampisin
3.         Klofazimin
4.         Prototionamide dan etionamide
(Amiruddin (2000), hal: 266)
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
a.       Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti.
·         Semua bercak masih nampak.
·         Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
·         Semua syaraf yang masih tebal
·         Semua cacat yang masih ada.
b.      Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
c.       Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
a.       Pengobatan telah selesai.
b.      Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar jangan sampai luka.
c.       Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk pemeriksaan ulang.
2.1.8 Kepatuhan Berobat Penderita kusta
Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya kecacatan
atau bertambah cacat. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman
kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi
kurang aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2006 dalam Hutabarat, 2008).
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat
mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita tidak minum obat secara teratur, maka
kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada
kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006 dalam Hutabarat, 2008).
Beberapa regimen yang direkomendasikan untuk pengobatan kusta, yaitu Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriosttik. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengobatan dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal pengambilan obat, jika terlambat petugas harus melacak penderita tersebut, dan melakukan pengamatan pemberian obat untuk TP PB 6 dosi (bilster) dalam jangka waktu 6-9 bulan, dan untuk penderita MB dengan 12 dosis dalam jangka waktu 12-18 bulan dan jika penderita sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase From Treatment tanpa perlu pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006 dalam Hutabarat, 2008).
Kepatuhan penderita kusta untuk mengonsumsi obat dapat dilihat dari dosis dan batas waktu sampai dinyatakan selesai berobat dan tergantung pada jenis kusta yang dideritanya. Dikatakan teratur, jika penderita kusta sudah minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB, dan dinyatakan tidak teratur, jika penderita kusta belum minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB (Depkes RI, 2006 dalam Hutabarat, 2008).

2.2         MASALAH-MASALAH YANG DITIMBULKAN AKIBAT PENYAKIT KUSTA
Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma psikis. Sebagai akibat dari trauma psikis ini pada penderita antara lain sebagai berikut :
a.       Dengan segera mencari pertolongan pengobatan.
b.      Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau keluarganya menderita penyakit kusta.
c.       Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk keluarganya.
d.      Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa bodoh terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas timbullah berbagai masalah antara lain:
a.       Masalah terhadap diri penderita kusta
Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain (jadi pengemis, gelandangan dan sebagainya).
b.      Masalah Terhadap Keluarga.
Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarakat disekitarnya, berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan.
c.       Masalah Terhadap Masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan atau informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit untuk diterima di tengah-tengah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari perideita, merasa takut dan
menyingkirkannya. Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan.


2.3      PENANGGULANGAN PENYAKIT KUSTA
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari :
a.    Metode pemberantasan dan pengobatan
b.    Metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan
c.    Metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri.














BAB III
PEMBAHASAN
3.1    Penyakit Kusta di Indonesia
3.1.1 Kasus: Indonesia Peringkat Ke-3 Pengidap Kusta Terbesar di Dunia
JAKARTA, KOMPAS.com — Jumlah pengidap penyakit kusta di Indonesia masih tinggi. Promosi perilaku hidup bersih dan sehat ditingkatkan, terutama di kantong-kantong penyebaran penyakit.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyampaikan, pada 2011 ditemukan 23.169 kasus baru kusta. Dari jumlah itu, pengidap yang mengalami catat tingkat dua, catat yang kelihatan sebanyak 2.050 orang dan kasus pada anak 2.170 orang.
"Penularan penyakit masih aktif," kata Nafsiah pada peringatan Hari Kusta Sedunia ke-60 di Rumah Sakit Kusta dr Sitanala, Tangerang, Rabu (13/2/2013). Peringatan yang sejatinya jatuh pada 27 Januari lalu mengambil tema "Hapus Stigma dan Diskriminasi terhadap Kusta".
Dari segi persebarannya, ada 14 provinsi yang mempunyai tingkat penemuan kasus lebih dari 10 per 100.000 penduduk, antara lain Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kasus terbanyak, yakni 5.284 kasus.
Dengan jumlah itu, Indonesia menempati urutan ketiga jumlah pengidap kusta terbanyak di dunia setelah India (127.295) dan Brasil (33.955). Urutan belum berubah sejak 2009, yang waktu itu tercatat 17.260 kasus.
Di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas. Myanmar berada di urutan kedua dengan 3.082 kasus, Filipina ketiga (2.936). Dua negara tetangga Indonesia, yaitu Malaysia hanya punya 216 kasus dan Singapura 11 kasus.
Menkes tidak menampik jumlah kasus di lapangan bisa melampaui angka yang terdata. Kondisi sanitasi yang kotor, masih belum gencarnya edukasi kesehatan, ditambah faktor kemiskinan menjadi sebab terus meningkatnya jumlah pengidap kusta.
Fokus Kemenkes ke depan adalah mengurangi jumlah kasus di kantong-kantong endemis. Caranya adalah dengan melakukan promosi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). "Tenaga kesehatan di tingkat puskesmas akan digerakkan untuk melakukan edukasi dan penyebaran informasi hidup bersih dan sehat langsung kepada masyarakat," ujar Nafsiah.
Upaya penemuan kasus sejak dini juga akan terus digalakkan. Untuk itu, informasi dari masyarakat, terutama anggota keluarga, kepada tenaga kesehatan sangat dibutuhkan sehingga pengobatan dapat dilakukan lebih awal.
Ketika ditanya kendala infrastruktur di sejumlah tempat di kawasan timur Indonesia, Nafsiah mengatakan, pendidikan berbasis media menjadi salah satu pilihan. Praktik hidup sehat dan bersih bisa dilakukan melalui selebaran, brosur, poster, bahkan layanan pesan singkat (SMS).
Manajer Program Malaria dan Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Anand B Joshi menyampaikan, Indonesia telah berusaha keras mengeliminasi penyakit kusta. Upaya pencegahan dengan melakukan pendidikan dan promosi hidup sehat diprioritaskan. "Dengan usaha yang gigih seperti yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini, lima tahun ke depan, Indonesia bisa bebas kusta," kata Joshi.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, untuk promosi dan edukasi kesehatan, segala sumber daya akan dikerahkan seefektif mungkin. Mulai dari tenaga kesehatan di tingkat puskesmas hingga penyebaran informasi melalui media, seperti poster, spanduk, dan media sosial.  
3.1.2        Analisis Kasus
Dalam Buku Situasi Penyakit 2011-201 Depkes RI, kusta termasuk dalam penyakit yang masih perlu mendapat perhatian.
Meraih peringkat ke-3 untuk penderita kusta terbesar di dunia memang suatu hal yang seharusnya tidak terjadi. banyak faktor yang menyebabkan besarnya penderita kusta di Indonesia, baik dari faktor kesehatan lingkungan, pola hidup masyarakat, dan juga dari peran pemerintah. Pemerintah harus lebih aktif dan serius dalam menanggulangi kasus kusta ini. Tapi bukan berarti hal ini merupakan tanggung jawab penuh dari pemerintah. masyarakat juga memiliki peran yang penting dalam menekan angka kasus penyakit kusta ini. Dibutuhkan kerja sama yang nyata antara pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi penyakit kusta.
Kusta merupakan suatu penyakit yang bisa dikatakan unik. Seseorang tidak mudah mngidap penyakit ini meskipun ia positif terinfeksi bakteri Mycobacterium leprae. Namun saat ia sudah dinyatakan positif kusta maka diperlukan penanganan yang segera karena keterlambatan penanganan bisa menyebabkan kecacatan permanen.
Beberapa hal yang bisa dilakukan/diupayakan untuk menekan angka kasus kusta di Indonesia adalah :

1.    Mengurangi Angka Kasus Kusta
Untuk megurangi angka kasus ini bisa diupayakan dengan :
a.    Pencegahan Tersier
b.    Pengobatan bagi Penderita

2.    Mencegah Meningkatnya Angka Kasus Kusta
Untuk mencegah meningkatnya angka kasus kusta bisa diupayakan dengan :
-   Pencegahan :
-   Pencegahan primordial
-   Pencegahan primer
-   Pencegahan sekunder
Yang terpenting dari semuanya adalah ketegasan dan keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi penyakit kusta. Dan juga pemberian pengetahuan kepada masyarkat mengenai kusta dan kesehatan lingkungan sehingga upaya pencegahan dari individu lebih baik.














Amiruddin, Muh. Dali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates
Halim, Paulus W. dan Nuraini Kurdi. 2003. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

http://pppl.depkes.go.id/upt?id=90