BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan
penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang
sangat kompleks dan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi
penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial
sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini masyarakat berupaya menghindari
penderita. Sebagai akibat dari masalah tersebut akan mempunyai efek atau
pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut
dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya
dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di
lingkungan masyarakat.
Program
pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut
sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit
kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih
tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud
bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya
penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar
penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai
di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi
dengan unit pelayanan kesehatan.
Dampak sosial
terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan
yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita
masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak
dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa
sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan
bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain.
Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan
terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit
kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut
pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang
bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan
yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari
masalah kesehatan ke masalah sosial.
Leprophobia masih
tetap berurat akar dalam seleruh lapisan masalah masyarakat karena dipengaruhi
oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia
kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit
dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta
dan masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi
para dokter masih terlalu takut dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal
ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta.
Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita
diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pembahasan mengenai studi kasus penyakit kusta ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui
pembahasan mengenai studi kasus penyakit kusta
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Kusta
Kusta pertama kali di ketahui dari abad ke 6 melalui tulisan orang
Indian. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang tidak membahayakan nyawa
tetapi merusak sistem kulit, saraf, pernafasan, mata dan testis. Perjalanan
penyakit ditandai dengan hilangnya anggota gerak apabila penyakit tidak di terapi
secara baik (http://dinkes.tasikmalayakota.go.id).
Istilah kusta
berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Menurut Depkes RI (1996) diacu dalam Hutabarat
(2008) penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008)
penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
Permasalahan
penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang
sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang
dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah
psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut
akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena
masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna
sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan
kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf).
2.1.1 Etiologi Penyakit Kusta
Penyakit ini
sebenarnya disebabkan oleh bakteri pathogen Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen,
pada tahun 1874 lalu. Mycobacterium leprae merupakan salah satu kuman
yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol.
Penelitian dengan
mikroskop electron tampak bahwa M. leprae mempunyai dinding yang terdiri
atas 2 lapisan, yakni lapisan padat terdapat pada bagian dalam yang terdiri
atas peptidoglikan dan lapisan transparan pada bagian luar yang terdiri atas
lipopolisakarida dan kompleks protein-lipopolisakarida. Dinding polisakarida
ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan
ketebalan 20nm (9,10). Tampaknya peptidoglikan ini mempunyai sifat spesifik
(11) pada M.leprae , yaitu adanya asam amino glisin,sedangkan pada
bakteri lain mengandung alanin. M. leprae ini merupakan basil gram
positif karena sitoplasma basil ini mempunyai struktur yang sama dengan basil
gram positif yang lain yaitu mengandung DNA dan RNA (http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/petrus-wicaksono-078114136.pdf).
Gambar : Mycobacterium Lepra
2.1.2 Penyebaran
Penyakit Kusta
Penyakit ini diduga
berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia
lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,
perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan
kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini
dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia
diperkirakan pada abad ke 4 yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang
datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
2.1.3 Klasifikasi Penyakit Kusta
1)
Jenis klasifikasi yang
umum
a.
Klasifikasi Internasional (1953)
1. Indeterminate
(I)
2. Tuberkuloid
(T)
3. Borderline-Dimorphous
(B)
4. Lepromatosa
(L)
b.
Klasifikasi untuk kepentingan riset
/klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
1.
Tuberculoid Leprosy (TT) :
· Resisten
relatif tinggi,
· Tidak
ada basil pada bagian kulit yang terkena, dan
·
Skin
patches sedikit dan kering.
Gambar. Penderita Tuberculoid Leprosy (http://hawaiihibou.hubpages.com/hub/Armadillo-and-Bacteria-Causes-Leprosy)
2. Lepromatous
Leprosy (LL) :
· Resisten
sangat rendah,
· Basil
sangat banyak,
· Dapat
ditularkan pada orang lain, dan
· Mati
rasa serta lemah pada kedua tangan dan kaki.
Gambar. Penderita Lepromatous Leprosy (http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2005/Leprosy/clinical.htm
3. Borderline
Leprosy, dibagi menjadi :
· Borderline
Tuberculoid (BT)
· Borderline
(BB) dan
·
Borderline
Lepromatous (BL).
Gambar. Penderita Borderline Tuberculoid (BT) (http://openi.nlm.nih.gov/detailedresult.php?img=3236729pntd.0001327.g001&req=4)
Gambar. Penderita Borderline
Lepromatous (http://caramengobatikustasecaraherbal.blogspot.com/2012/12/obat-tradisional-sembuhkan-penyakit.html
c.
Klasifikasi untuk kepentingan
program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar
(PB)
Hanya kusta tipe I,
TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2. Multibasilar
(MB)
Termasuk kusta tipe
LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley
dan Jopling atau B dan L menurut
Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai
berikut :
1.
Bila
pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil
pemeriksaan BTA-nya saat ini.
2.
Bila
awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran
klinis dan hasil BTA saat ini.
Tabel 1. Perbedaan
tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
|
PB
|
MB
|
1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat,
plak eritem, nodus)
2. Kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya
senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
|
Ø 1-5 lesi
Ø Hipopigmentasi/eritema
Ø Distribusi tidak simetris
Ø Hilangnya sensasi yang jelas
Ø Hanya satu cabang saraf
|
Ø > 5 lesi
Ø Distribusi lebih simetris
Ø Hilangnya sensasi kurang jelas
Ø Banyak cabang saraf
|
Sumber :Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta dalam Yanuar.
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan menentukan,
apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya
dalam spektrum penyakit kusta.
Tabel
2. Gambaran klinis tipe PB
Karakteristik
|
Tuberkuloid (TT)
|
Borderline tuberculoid (BT)
|
Indeterminate (I)
|
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin
|
Makula dibatasi infiltrat
Satu atau beberapa
Terlokalisasi & asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif
Positif kuat (3+)
|
Makula dibatasi infiltrat saja
Satu dengan lesi satelit
Asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif atau 1 +
Positif (2 +)
|
Makula
Satu atau beberapa
Bervariasi
Dapat halus agak berkilat
Agak terganggu
Biasanya negatif
Meragukan (1 +)
|
Sumber : Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta dalam Yanuar
Tabel
3. Gambaran klinis tipe MB
Karakteristik
|
Lepromatosa (LL)
|
Borderline lepromatosa (BL)
|
Mid-borderline (BB)
|
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Pada hembusan
hidung
Tes lepromin
|
Makula, infiltrat
difus, papul, nodus
Banyak, distribusi
luas, praktis tidak ada kulit sehat
simetris
Kering, skuama
Halus dan berkilap
Todak terganggu
Banyak (globi)
Banyak (globi)
Negative
|
Makula, plak, papul
Banyak, tapi kulit
sehat masih ada
Cenderung simetris
Halus dan berkilap
Sedikit berkurang
Banyak
Biasanya tidak ada
Negatif
|
Plak, lesi berbntuk
kubah, lesi punched-out
Beberapa, kulit sehat (+)
asimetris
sedikit berkilap, beberapa lesi kering
berkurang
agak banyak
tidak ada
biasanya negatif, dapat juga (±)
|
Sumber: Buku
Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta dalam Yanuar
2.1.3.1 Kriteria
Penentuan Tipe
Dalam menentukan klasifikasi tife PB dan MB
didasarkan pada criteria seperti tabel dibawah ini.
Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya
salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh
kriteria.
Kriteria untuk tipe PB dan MB
Kelainan
kulit dan
hasil
pemeriksaan
Bakteriologis
|
PB
|
MB
|
1. Bercak
(Makula)
a.
Jumlah
|
1
– 5
|
Banyak
|
b. Ukuran
|
Kecil
dan besar
|
Kecil-kecil
|
c. Distribusi
|
Unilateral
atau bilateral
asimetris.
|
Billateral,
simetris
|
d. Konsitensi
|
Kering
dan Kasar
|
Halus, berkilat.
|
e.
Batas
|
Tegas
|
Kurang tegas.
|
f. Kehilangan rasa
pada
bercak
|
Selalu
ada dan jelas
|
Biasanya tidak
jelas,
jika ada,
terjadi pada yang
sudah lanjut.
|
g. Kehilangan kemampuan
berkeringat, bulu rontok pada bercak
|
Bercak tidak
berkeringat,
ada bulu ronrontok
pada
bercak.
|
Bercak masih
ber keringat
bulu
tidak rontok
|
2. Infiltrat :
a. Kulit
|
Tidak
ada
|
Ada,
kadang-kadang
tidak ada
|
b. Membrana mukosa
(hidung tersumbat
pendarahan di
hidung)
|
Tidak
pernah ada.
|
ada,
kadang-kadang
tidak
ada
|
3. Ciri-ciri
khusus
|
*Central
Healing*
Penyembuhan
di-
Tengah.
|
1.Punched out
lession **).
2.Madarosis
3.Ginekomastia
4.Hidung
Pelana
5.Suara Sengau
|
4.
Nodulus
|
Tidak
ada
|
Kadang-kadang
ada
|
5. Penebalan
syaraf
6. Deformitas
(cacat)
|
Lebih sering
terjadi
dini,asimetris
Biasanya
asimetris
terjadi dini
|
Terjadi pada
yang
lanjut
biasanya lebih
dari satu dan
simetris.
Terjadi pada
Stadium
Lanjut
|
7. Apusan
|
BTA
Negatif
|
BTA
Positif.
|
**). Lesi berbentuk seperti kue donat.
2.1.3 Tanda dan Gejala Umum Penyakit Kusta
Umumnya gejala dan
tanda dari penyakit ini kelainan kulit dimulai dari bercak putih bersisik halus
pada bagian tubuh, tidak gatal, namun semakin lama semakin membesar dan meluas.
Tipe
BT dengan lesi satelit Tipe
TT
Tipe BL Tipe
LL
Jika saraf sudah
kena, penderita mengeluh kesemutan pada bagian tertentu, ataupun susah
menggerakkan anggota badan yang berlanjut dengan kekakuan sendi. Rata-rata
periode inkubasinya adalah 2-3 tahun, namun dapat bervariasi dari 6 bulan sampai
40 tahun bahkan lebih.
Menurut sebagian
besar pasien, tanda awal dari penyakit ini adalah merasa tebal pada kulit yang
nantinya akan berkembang menjadi lesi atau kelainan kulit dalam beberapa tahun.
Kulit menjadi kehilangan kepekaan terhadap temperatur (panas dan dingin)
diikuti dengan hilangnya kepekaan sentuhan ringan, raba, nyeri dan tekanan.
Kehilangan respons sensoris biasanya dimulai dari jari tangan dan kaki. Hal ini
desebabkan karena kerusakan saraf pada tangan dan kaki. Lebih berat lagi, dapat
terjadi kesulitan menggunakan jari-jari tangan untuk bekerja misalnya menulis
atau mengangkat piring, kekakuan jari-jari bahkan dapat terjadi pemendekan
jari-jari.
2.1.4
Penularan Kusta
M.leprae
ini merupakan basil obligat intraseluler yang
terutama dapat berkembang biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit.
Bakteri ini merupakan bakteri yang menyerang kulit dan syaraf tepi. M.
leprae berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision yang
membutuhkan waktu 11-13 hari. Pertumbuhan yang sangat lambat ini tidak
diragukan sebagai faktor utama yang menyebabkan masa inkubasi yang sangat lama
dari kusta dan menyebabkan semua manifestasi klinisnya menjadi kronis.
Cara penularan
penyakit ini belum diketahui secara pasti. Namun, kemungkinan besar dekat
dengan penderita sangat besar pengaruhnya pada penularan. Berjuta-juta basil
dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang
tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung
yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber
penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas
dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu
tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Sebetulnya
perjalanan penyakitnya itu sendiri cukup lama, karena itu disebut penyakit
menahun. Semua orang bisa terkena penyakit ini, namun pada umumnya manusia
kebal terhadap penyakit ini. Tetapi apabila sifat kekebalannya melemah maka
seseorang akan mudah terkena penyakit ini. Jadi penyakit kusta sangat berkaitan
dengan proses kekebalan. Oleh karena itu penyakit ini banyak diderita di
negara-negara berkembang pada penduduk miskin yang kehidupannya berhimpitan dengan
sosial ekonomi yang lemah (http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah
dan tidak perlu ditakuti. Beberapa faktor yang memengaruhi penularan kusta
antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan :
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB.
Penderita MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta :
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara
1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang
utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh :
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta
(95 %). Dari hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari
100 orang yang terpapar :
95
orang tidak menjadi sakit.
3
orang sembuh sendiri tanpa obat.
2
orang
menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan (http://id.pdfsb.com/readonline).
2.1.5
Diagnosis Penyakit Kusta
Mendiagnosis seseorang menderita penyakit kusta
menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga ataupun masyarakat
disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita
harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang
mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi
harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a. Klinis
b. Bakteriologis
c. Immunologis
d. Hispatologis
Namun untuk diagnosis kusta di lapangan cukup dengan
ananese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel
dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat
sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen.
Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas.
Diagnosis penyakit kusta dapat
dilakukan dengan penyuntikan antigen ke bagian bawah kulit untuk mengetahui
tipe peyakit kusta yang sedang diderita oleh seseorang. Tes ini disebut
Lepromin Skin Test. Penyuntikan antigen akan mengakibatkan terbentuknya
gumpalan kecil pada kulit.
Gambar.
Lepromin skin test
2.1.6 Pencegahan
Penyakit Kusta
1. Pencegahan Primordial
Tingkat pencegahan ini adalah tingkat pencegahan
yang paling baru dikenal.
Tujuan dari pencegahan
primordial adalah untuk menghindari kemunculan dan kemapanan di bidang social, ekonomi, dan pola kehidupan
yang diketahui mempunyai kontribusi untuk meningkatkan resiko penyakit. Pencegahan primordial yang efektif itu memerlukan adanya peraturan
yang keras dari pemerintah dan ketentuan tentang
fiscal agar dapat melaksanakan kebijaksanaan yang ada.
Pemerintah dengan berbagai macam program dan kebijakan. Program yang terkenal dalam menangani penyakit ini adalah “Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Kusta”. Perlu adanya kebijakan yang keras pada penerapan program ini di setiap daerah agar program ini dapat berjalan dengan efektif dan diharapkan mampu menanggulangi dan mengurangi penderita kusta di Indonesia.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama, tujuannya adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya,
pencegahan ini terdiri dari :
a. Promosi kesehatan
Yaitu dengan cara penyuluhan-penyuluhan tentang penularan,
pengobatan dan pencegahan penyakit kusta, serta pentingnya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan status gizi tiap individu menjadi baik.
Menurut
Depkes RI (2005a) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan primer dilakukan pada
kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko
tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga
penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang
kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah
proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum
menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya
dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita,
tetangga penderita dan masyarakat)
b.
Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan
primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil
penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu
kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan
pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%,
namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian
vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005a dalam Hutabarat, 2008).
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini meliputi
diagnosis dini dan pemberian pengobatan (prompt treatment).
a. Diagnosis dini yaitu diagnosis dini pada kusta dapat dilakukan dengan pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya .
b. Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS
(diaminodifenilsulfon), klofazimin, rifampisin,
prednisone, sulfatferrosus dan
vitamin A. Pengobatan lain adalah dengan Multi drug treatment
(MDT) yaitu gabungan pemberian obat refampicin, ofloxacin dan minocyclin sesuai dengan dosis dan tipe penyakit kusta.
Pengobatan kusta ini dilakukan secara teratur dan terus menerus selama 6-9 bulan.
Menurut Depkes RI (2006)
diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan
pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan
penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat
yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada
penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut
merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.
4. PencegahanTersier
Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi kemajuan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi, dan adalah merupakan sebuah aspek terapatik dan kedokteran rehabilitasi
yang paling penting .Pencegahan tersier merupakan usaha pencegahan terakhir yang terdiri dari :
a. Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan
yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik
secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan
luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau
alat bantu lainnya, serta terapi okupasi.
Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi
sosial (rehabilitasi nonmedis), agar
mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya
membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu
pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal
sebagai rehabilitasi paripurna.
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi
medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien
harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar
yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan
luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan
latihan. Diagnosis dan terapi secara dini, disusul dengan perawatan yang
cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap
reaksi kusta mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1. Mencegah kerusakan saraf,
sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,dan kontraktur.
2.
Hentikan
kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3. Kontrol nyeri.
4. Pengobatan untuk mematikan
basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Menurut Tjokronegoro,
dkk. (2003), bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada
pencegahan handicap dan mempertahankan fungsi yang tersisa.
Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pasien adalah :
a.
Pemeliharaan kulit harian
1. Cuci
tangan dan kaki setiap malam setelah bekerja dengan sedikit sabun (jangan
deterjen)
2. Rendam
kaki sekitar 20 menit dengan air dingin.
3. Kalau
kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
4. Kulit
digosok dengan minyak.
5. Secara
teratur, kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka, dan
lain-lain).
b.
Proteksi tangan dan kaki
1. Tangan
: - pakai sarung tangan waktu bekerja
- Stop
merokok
- Jangan
sentuh gelas/barang panas secara langsung.
- Lapisi
gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut
2. Kaki
: - selalu pakai alas kaki
- Batasi
jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
- Meninggikan
kaki bila berbaring
c.
Latihan fisioterapi
Tujuan
latihan adalah : - cegah kontraktur
- peningkatan fungsi
gerak
- peningkatan kekuatan
otot
- peningkatan daya
tahan (endurance)
1.
Latihan lingkup gerak sendi : secara
pasif meluruskan jari-jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan
orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5-10 kali per hari untuk mencegah
kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk cegah kontraktur. Latihan lingkup
gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
2.
Latihan aktif meluruskan jari-jari
tangan dengan tenaga otot sendiri.
3.
Untuk tungkai, lakukan peregangan
otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan
tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.
4.
Program latihan dapat ditingkatkan
secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot,
dan daya tahan.
d.
Bidai
Pembidaian dapat
dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas.
Bidai dipasang pada anggota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai
dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai
yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup
gerak sendi.
e. Dapat
dibuat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi.
f.
Program terapi okupasi merupakan program
yang sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong
diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi
alat-alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat
dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
1. Latihan
redudaksi motorik
2. Latihan
redudaksi sensorik
3. Latihan
aktivitas menolong diri
4. Latihan
aktivitas rumah tangga
5. Latihan
aktivitas kerja
6. Latihan
daya tahan kerja
Sebagai
kesatuan rehabilitasi medis, maka perlu dilakukan tinadakan bedah pada pasien
kusta yang cacat. Khususnya bedah rekonstruksi, dilakukan dengan tujuan :
1. Memperbaiki
fungsi anggota badan seoptimal mungkin.
2. Mencegah
cacat berlanjut menjadi berat.
3. Memperbaiki
penampilan (kosmetik).
Agar pembedahan dapat
berhasil dengan baik, maka harus memenuhi persyratan sebagai berikut :
1. Basil
tahan asam (M. leprae) atau pasien
sudah bebas terapi (CTC = completion of
treatment cure)
2. Bebas
reaksi lebih dari 6 bulan.
3. Tidak
pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir.
4. Kelumpuhan
otot sudah menetap.
5. Ada
otot donor yang normal.
6. Tidak
ada kontra indikasi pada operasi umum.
7. Pasien
kooperatif dan ada motivasi untuk dioperasi.
b.
Rehabilitasi
Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak banyak menyebabkan kematian, namun penyakit
ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang
sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial
dan cacat fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisik yang
menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang
melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan
dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa
hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di
sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima
keputusan
bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada
kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin
menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak
menunjang proses pengobatan dan
kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat bagi penderita
itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara
cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap
kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan
beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita
itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol
dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan
oleh karena adanya stigma leprofobi
yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang
keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative
terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak
mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya.
Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai
sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan
secara terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti
sediakala. Dengan kata lain
tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi
penderita itu sendiri.
Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai
penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak
diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif
dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program
pengobatan yang telah dianjurkan.
Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila
seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya
masih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani
sedini mungkin dan secara adekuat
untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat kusta telah terjadi,
maka upaya rehabilitasi untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera
dilakukan.
Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil
pemeriksaan klinis, bakteriologis,
dan histopatologis menyatakan bahwa
penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan
hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa
obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya ia
tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan oleh
Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif,
dengan atau tanpa cacat kusta.
c.
Rehabilitasi
Mental
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita,
keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat
agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.Informasi
yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
a)
Hal-hal
yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b)
Masalah psikososial kusta
c)
Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai.
d)
Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.
e)
Peran
serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
f)
Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
g)
Dan
lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi,
berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
Hal-hal
ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah
dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan
keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara paripurna.
Tanpa dibekali
informasi yang tepat tentang hal-hal tersebut, maka penderita cenderung menjadi
bosan menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia
akan berobat semaunya secara tidak teratur. Lebih celaka lagi bila selama masa
pengobatan timbul komplikasi berupa neuritis
atau reaksi yang memperburuk kondisi tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative
untuk menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan baik dan mencari
pertolongan pengobatan secara alternatif.
Walaupun pengobatan
medis kusta dan upaya rehabilitasi ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya
stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali
penderita dan bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang
benar tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka stigma
dan leprofobi dapat dikurangi dan
ditekan hingga seminimal mungkin.
d. Rehabilitasi Karya
Upaya rehabilitasi
karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat kembali
melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru
sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya.
Disamping itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi
risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
e. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi penderita. Hal
ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus menerus,
melainkan upaya yang
bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat berupa :
a) Memberikan bimbingan sosial.
b) Memberikan peralatan kerja.
c)
Memberikan
alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
d)
Memberikan
bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
e) Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka
f) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.
g)
Memberikan
bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan,
dan sebagainya.
h) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
i) Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.
j) Memberikan bimbingan mental/spiritual.
k) Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.
Menurut
Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan tersier penyakit kusta
meliputi sebagai berikut :
a. Pencegahan
cacat kusta
Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat
kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
1.
Upaya pencegahan cacat primer meliputi
penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan
reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
2.
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi
perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki
yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi
kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk
memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk
mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk
suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan
rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga
memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006)
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:
1. Latihan
fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya
kontraktur
2. Bedah
rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat
tekanan yang berlebihan
3. Bedah
plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
4. Terapi
okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila gerakan normal terbatas
pada tangan
5. Konseling
dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat
Tujuan pencegahan penyakit kusta adalah merupakan
upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta. Berikut ini adalah mata
rantai penularan penyakit kusta.
Sumber gambar :
http://tugas-pbw.comuf.com/penyakittropis/index.php/kusta/penularan-kusta
2.1.7
Pengobatan Penyakit Kusta
Menurut
sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 zaman
yaitu :
1.
Zaman
Purbakala.
Penyakit
kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari
peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang
sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 tahun
SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan
karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi
karena merasa jijik dan takut.
2. Zaman Pertengahan.
Kira-kira
setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan system feodal
yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap
penguasa dan hak azasi manusia
tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang
umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyakit dan obat-obatan belum
ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di
Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.
3.
Zaman Modern
Dengan
ditemukanya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era
perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Demikian
halnya di Indonesia Dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan
yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan
pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai
pengobatan penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta
mulai diintegrasikan di Puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat
Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomondasi WHO.
Setelah menegakkan diagnosa dan ternyata seseorang
menderita kusta segera diberikan pengobatan dengan kombinasi Multi Drug
Therapy (MDT) secara gratis dan dicatat oleh petugas dalam kartu penderita.
Memberikan penderita dosis pertama di puskesmas dan menganjurkan ambil obat
secara teratur di puskesmas. Kemasan blister obat kombinasi atau Multi Drug
Ttherapy (MDT) adalah gratis, disimpan ditempat yang kering, aman, teduh dan
jauh dari jangkauan anak-anak. Selama menjalani pengobatan penderita dapat
menjalani kehidupan normal, dapat tinggal dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain,
menikah, mempunyai anak serta dalam acara-acara sosial (Depkes RI, 2000 dalam
Hutabarat, 2008).
Obat yang diberikan pada penderita Tipe PB 1 Lesi 1
langsung di telan di depan petugas dan apabila obat tersebut tidak ada maka
sementara diobati dengan dosis obat Pauci Baciler 2-5. Untuk tipe Pauci
Baciler (PB) lesi 2-5, pada dewasa pengobatan bulanan, hari pertama diminum
di depan petugas 2 kapsul Rifampisin 600 mg dan 1 tablet Dapsone 100
mg, pengobatan harian hari ke 2- 28, 1 tablet Dapsone 100 mg 1 blister
untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 6 blister.
Untuk tipe Multi Baciler (MB) pada dewasa
pengobatan bulanan, hari pertama dosis diminum di depan petugas 2 kapsul Rifampisin
600 mg, 3 tablet Lampren 300 mg dan 1 tablet Dapsone 100 mg,
pengobatan harian yang ke 2-28 hari 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet
dapsone 100 mg. Satu blister untuk 1 bulan dan diminum sebanyak 12
blister.Untuk anak dibawah usia 10 tahun obat diberikan berdasarkan berat badan
dengan dosis sebagai berikut : Rifampisin 10-15 mg/kg BB, Dapsone 1-2
mg/Kg BB dan Clofazimin 1 mg/Kg BB (Depkes RI, 2005a dalam Hutabarat,
2008).
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson
(Diaminodiphenylsulfone) sejak tahun 1952 di Indonesia, hanya saja pengobatan
mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan
:
a. Dosis
rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra reaksi
b. Waktu
makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita makan obat
tidak teratur
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita
kusta dapat menggunakan beberapa jenis obat, yaitu :
a. Rifampicin,
dapat membunuh bakteri kusta dengan menghambat perkembangbiakan bakteri (dosis
600mg)
b. Vitamin
A (untuk menyehatkan kulit yang bersisik).
c. Clofamizine
(CLF), menghambat pertumbuhan dan menekan efek bakteri perlahan pada Mycobacterium Leprae dengan berikatan
pada DNA bakteri
d. Ofloxacin,
synthetic fluoroquinolone, yang bereaksi menyerupai penghambat bacterial DNA
gyrase
e. Minocycline,
semisynthetic tetracycline, menghambat sintesis protein pada bakteri
Secara umum terdapat empat jenis obat
antikusta, yaitu :
1.
Sulfon
2.
Rifampisin
3.
Klofazimin
4.
Prototionamide dan etionamide
(Amiruddin
(2000), hal: 266)
Setelah
penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan
menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan
obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas
kesehatan harus :
a. Mengisi
dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti.
·
Semua bercak masih nampak.
·
Kulit yang hilang atau kurang rasa
terutama ditelapak kaki dan tangan.
·
Semua syaraf yang masih tebal
·
Semua cacat yang masih ada.
b. Mengambil
skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan
RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
c. Mencatat
data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas
harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
a. Pengobatan
telah selesai.
b. Penderita
harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar jangan sampai luka.
c. Bila
ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk pemeriksaan ulang.
2.1.8 Kepatuhan Berobat Penderita kusta
Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk
memutuskan mata rantai
penularan,
menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya kecacatan
atau
bertambah cacat. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman
kusta
sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi
kurang
aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2006 dalam Hutabarat, 2008).
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,
pengobatan hanya dapat
mencegah
cacat lebih lanjut. Bila penderita tidak minum obat secara teratur, maka
kuman
kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada
kulit
dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006 dalam Hutabarat, 2008).
Beberapa regimen yang direkomendasikan untuk
pengobatan kusta, yaitu Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua
atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai
anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa
bersifat bakteriosttik. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengobatan dilakukan
oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal pengambilan obat, jika
terlambat petugas harus melacak penderita tersebut, dan melakukan pengamatan
pemberian obat untuk TP PB 6 dosi (bilster) dalam jangka waktu 6-9
bulan, dan untuk penderita MB dengan 12 dosis dalam jangka waktu 12-18 bulan
dan jika penderita sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase
From Treatment tanpa perlu pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006 dalam
Hutabarat, 2008).
Kepatuhan penderita kusta untuk mengonsumsi obat
dapat dilihat dari dosis dan batas waktu sampai dinyatakan selesai berobat dan
tergantung pada jenis kusta yang dideritanya. Dikatakan teratur, jika penderita
kusta sudah minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB,
dan dinyatakan tidak teratur, jika penderita kusta belum minum obat sampai 6
bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB (Depkes RI, 2006 dalam
Hutabarat, 2008).
2.2
MASALAH-MASALAH YANG DITIMBULKAN
AKIBAT PENYAKIT KUSTA
Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit
kusta akan mengalami trauma psikis. Sebagai akibat dari trauma psikis ini pada
penderita antara lain sebagai berikut :
a. Dengan
segera mencari pertolongan pengobatan.
b. Mengulur-ulur
waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau keluarganya menderita
penyakit kusta.
c. Menyembunyikan
(mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk keluarganya.
d. Oleh
karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa bodoh
terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas
timbullah berbagai masalah antara lain:
a. Masalah
terhadap diri penderita kusta
Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri,
merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut
mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang
wajar. Segan berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri
sehingga beban bagi orang lain (jadi pengemis, gelandangan dan sebagainya).
b. Masalah
Terhadap Keluarga.
Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan
termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan
oleh masyarakat disekitarnya, berusaha menyembunyikan penderita agar tidak
diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari keluarga
karena takut ketularan.
c. Masalah
Terhadap Masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari
tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan
penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan
Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan
atau informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit untuk diterima di
tengah-tengah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari perideita, merasa
takut dan
menyingkirkannya.
Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan.
2.3
PENANGGULANGAN PENYAKIT KUSTA
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar
dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang
berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri
dari :
a. Metode
pemberantasan dan pengobatan
b. Metode
rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,
rehabilitasi karya dan
c. Metode
pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita
dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Penyakit
Kusta di Indonesia
3.1.1 Kasus: Indonesia Peringkat Ke-3 Pengidap
Kusta Terbesar di Dunia
JAKARTA, KOMPAS.com —
Jumlah pengidap penyakit kusta di Indonesia masih tinggi. Promosi perilaku
hidup bersih dan sehat ditingkatkan, terutama di kantong-kantong penyebaran
penyakit.
Menteri
Kesehatan Nafsiah Mboi menyampaikan, pada 2011 ditemukan 23.169 kasus baru
kusta. Dari jumlah itu, pengidap yang mengalami catat tingkat dua, catat yang
kelihatan sebanyak 2.050 orang dan kasus pada anak 2.170 orang.
"Penularan
penyakit masih aktif," kata Nafsiah pada peringatan Hari Kusta Sedunia
ke-60 di Rumah Sakit Kusta dr Sitanala, Tangerang, Rabu (13/2/2013). Peringatan
yang sejatinya jatuh pada 27 Januari lalu mengambil tema "Hapus Stigma dan
Diskriminasi terhadap Kusta".
Dari
segi persebarannya, ada 14 provinsi yang mempunyai tingkat penemuan kasus lebih
dari 10 per 100.000 penduduk, antara lain Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah
kasus terbanyak, yakni 5.284 kasus.
Dengan
jumlah itu, Indonesia menempati urutan ketiga jumlah pengidap kusta terbanyak
di dunia setelah India (127.295) dan Brasil (33.955). Urutan belum berubah
sejak 2009, yang waktu itu tercatat 17.260 kasus.
Di
kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas. Myanmar berada di urutan
kedua dengan 3.082 kasus, Filipina ketiga (2.936). Dua negara tetangga
Indonesia, yaitu Malaysia hanya punya 216 kasus dan Singapura 11 kasus.
Menkes
tidak menampik jumlah kasus di lapangan bisa melampaui angka yang terdata.
Kondisi sanitasi yang kotor, masih belum gencarnya edukasi kesehatan, ditambah faktor
kemiskinan menjadi sebab terus meningkatnya jumlah pengidap kusta.
Fokus
Kemenkes ke depan adalah mengurangi jumlah kasus di kantong-kantong endemis.
Caranya adalah dengan melakukan promosi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
"Tenaga kesehatan di tingkat puskesmas akan digerakkan untuk melakukan
edukasi dan penyebaran informasi hidup bersih dan sehat langsung kepada
masyarakat," ujar Nafsiah.
Upaya
penemuan kasus sejak dini juga akan terus digalakkan. Untuk itu, informasi dari
masyarakat, terutama anggota keluarga, kepada tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan sehingga pengobatan dapat dilakukan lebih awal.
Ketika
ditanya kendala infrastruktur di sejumlah tempat di kawasan timur Indonesia,
Nafsiah mengatakan, pendidikan berbasis media menjadi salah satu pilihan.
Praktik hidup sehat dan bersih bisa dilakukan melalui selebaran, brosur,
poster, bahkan layanan pesan singkat (SMS).
Manajer
Program Malaria dan Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia
Anand B Joshi menyampaikan, Indonesia telah berusaha keras mengeliminasi
penyakit kusta. Upaya pencegahan dengan melakukan pendidikan dan promosi hidup
sehat diprioritaskan. "Dengan usaha yang gigih seperti yang dilakukan
beberapa tahun terakhir ini, lima tahun ke depan, Indonesia bisa bebas kusta,"
kata Joshi.
Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes Tjandra Yoga
Aditama mengatakan, untuk promosi dan edukasi kesehatan, segala sumber daya
akan dikerahkan seefektif mungkin. Mulai dari tenaga kesehatan di tingkat puskesmas
hingga penyebaran informasi melalui media, seperti poster, spanduk, dan media
sosial.
3.1.2
Analisis Kasus
Dalam Buku Situasi Penyakit 2011-201 Depkes RI,
kusta termasuk dalam penyakit yang masih perlu mendapat perhatian.
Meraih peringkat ke-3 untuk penderita kusta terbesar di dunia
memang suatu hal yang seharusnya tidak terjadi. banyak faktor yang menyebabkan
besarnya penderita kusta di Indonesia, baik dari faktor kesehatan lingkungan,
pola hidup masyarakat, dan juga dari peran pemerintah. Pemerintah harus lebih
aktif dan serius dalam menanggulangi kasus kusta ini. Tapi bukan berarti hal
ini merupakan tanggung jawab penuh dari pemerintah. masyarakat juga memiliki
peran yang penting dalam menekan angka kasus penyakit kusta ini. Dibutuhkan
kerja sama yang nyata antara pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi
penyakit kusta.
Kusta merupakan suatu penyakit yang bisa dikatakan unik.
Seseorang tidak mudah mngidap penyakit ini meskipun ia positif terinfeksi
bakteri Mycobacterium leprae. Namun
saat ia sudah dinyatakan positif kusta maka diperlukan penanganan yang segera
karena keterlambatan penanganan bisa menyebabkan kecacatan permanen.
Beberapa hal yang
bisa dilakukan/diupayakan untuk menekan angka kasus kusta di Indonesia adalah :
1.
Mengurangi
Angka Kasus Kusta
Untuk megurangi angka kasus ini bisa
diupayakan dengan :
a.
Pencegahan Tersier
b.
Pengobatan
bagi Penderita
2.
Mencegah
Meningkatnya Angka Kasus Kusta
Untuk mencegah
meningkatnya angka kasus kusta bisa diupayakan dengan :
- Pencegahan :
- Pencegahan primordial
- Pencegahan primer
- Pencegahan sekunder
Yang terpenting dari
semuanya adalah ketegasan dan keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi
penyakit kusta. Dan juga pemberian pengetahuan kepada masyarkat mengenai kusta
dan kesehatan lingkungan sehingga upaya pencegahan dari individu lebih baik.
Amiruddin, Muh.
Dali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta
: Penerbit Hipokrates
Halim, Paulus W.
dan Nuraini Kurdi. 2003. Kusta. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
http://pppl.depkes.go.id/upt?id=90